Pendidikan dan Gender
2.1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan dimengerti secara luas dan umum sebagai usaha sadar yang
dilakukan oleh pendidik melalui bimbingan , pengajaran, dan latihan untuk
membantu peserta didik mengalami proses pemanusiaan diri ke arah tercapainya
pribadi yang dewasa – susila. Kata pendidkan sendiri mengandung
sekurang-kurangnya empat pengertian, yaitu bentuk kegiatan, proses, buah atau
produk yang dihasilkan proses tersebut, serta sebagai ilmu.
Pendidikan
adalah produk atau konstruksi sosial, dan celakanya ada jenis kelamin dalam
masyarakat yakni laki-laki dan perempuan yang salah satunya tidak selalu
diuntungkan akibat dari konstruksi tersebut. Kesenjangan pada sektor pendidikan
telah menjadi faktor utama yang paling berpengaruh terhadap bias gender secara
menyeluruh. Hampir pada semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan,
peran di masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat, antara laki-laki
dan perempuan yang menjadi faktor penyebab terjadinya bias gender adalah karena
latar belakang pendidikan yang belum setara.
2.2.
Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti
“jenis kelamin”. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender
diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi nilai dan tingkah laku
Di dalam Women’s Studies Encyclopedia
dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat
pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat.
Banyak
laki-laki mengatakan, sungguh tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat
memiliki ekspektasi yang berlebihan terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat,
tidak cengeng, dan perkasa.
Ketika seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu. Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri, gagah, dan tidak memperlihatkan kekhawatiran dan ketidakberdayaannya.
Ini menjadi beban yang sangat berat bagi anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya. Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotip perempuan yang pasif, emosional, dan tidak mandiri telah menjadi citra baku yang sulit diubah. Karenanya, jika seorang perempuan mengekspresikan keinginan atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Hal ini menjadi beban tersendiri pula bagi perempuan.
Keadaan di atas menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja.
Ketika seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu. Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri, gagah, dan tidak memperlihatkan kekhawatiran dan ketidakberdayaannya.
Ini menjadi beban yang sangat berat bagi anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya. Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotip perempuan yang pasif, emosional, dan tidak mandiri telah menjadi citra baku yang sulit diubah. Karenanya, jika seorang perempuan mengekspresikan keinginan atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Hal ini menjadi beban tersendiri pula bagi perempuan.
Keadaan di atas menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja.
Dari penjelasan tersebut diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa gender merupakan pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas
laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi social budaya masyarakat
berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat. Gender bukan
kodrat atau takdir Tuhan, tetapi gender berkaitan dengan keyakinan bagaimana
seharusnya laki-laki dan bagaimana seharusnya perempuan berperan dan bertindak
sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat
mereka berada.
2.3.
Kesetaraan Gender dalam pendidikan
Isu
kesetaraan gender sejalan dengan perkembangan jaman yang didukung oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong perkembangan ekonomi
dan globalisasi informasi, yang memungkinkan kaum perempuan bekerja dan
berperan sama dengan kaum lelaki. Hal yang sangat penting adalah bahwa
kesetaraan gender itu harus didukung dengan perlindungan hukum dan berbekal
pendidikan yang memadai, karena perjuangan kesetaraan gender yang hakiki adalah
perjuangan kesetaraan gender dalam dunia pendidikan dan perlindungan hukum.
Bias
gender tampak sekali dalam realita kehidupan dan ini tidak hanya berdampak
negatif bagi siswa atau anak perempuan tetapi juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan
diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani. Sementara laki-laki
diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh
pada peran sosial mereka di masa datang.
Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya ia akan disebut banci, penakut atau bukan lelaki sejati.
Padahal menurut William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya .
Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya ia akan disebut banci, penakut atau bukan lelaki sejati.
Padahal menurut William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya .
Dengan
adanya pelabelan-pelabelan seperti di atas, perempuan dianggap mempunyai
tingkat kemampuan untuk meraih pendidikan lebih rendah dibandingkan dengan
laki-laki yang menyebabkan perempuan belum bisa berperan lebih besar. Untuk
itu, perlu dibuka seluas-seluasnya akses pendidikan dengan memajukan
program-progrm sosialisasi kesetaraan gender agar bias gender tidak terus
berlangsung.
Sehingga
kejadian-kejadian buruk seringkali menimpa kaum perempuan dikarenakan kurangnya
pengetahuan atau pendidikan. Sehingga muncul teori-teori feminisme dalam wacana
pendidikan yang juga dapat diperhitungkan sebagai bagian yang memperjuangkan
kesetaraan gender dalam dunia pendidikan, ada empat teori besar feminisme yang
secara singkat perlu dikemukakan di sini yang dikaitkan dengan masalah
pendidikan, antara lain :
- Teori Feminisme Liberal.
Teori ini memfokuskan diri pada pertanyaan-pertanyaan mengapa anak perempuan banyak mengalami kegagalan meraih pendidikan tinggi. Feminisme liberal lebih berfokus pada persoalan akses ke pendidikan, peningkatan partisipasi sekolah pada anak perempuan, menyediakan program-program pelayanan bagi anak perempuan dari keluarga yang kurang beruntung dan melakukan penuntutan kesetaraan pendidikan yang sifatnya tidak radikal atau tidak mengancam
2. Teori
Feminisme Radikal
Teori radikal mencari persoalan sampai keakar-akarnya bertolak belakang persepsi mereka dengan kaum feminis liberal. Kaum feminis radikal melihat penyebab utama adanya ketidakadilan bagi perempuan di dalam dunia pendidikan adalah karena sistem patriarkhal yang berlaku di masyarakat setempat. Selain itu, juga melihat hubungan-hubunga kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, karena nya ini yang kemudian menentukan keterbelakangan perempuan perempuan di berbagai bidang.
Teori radikal mencari persoalan sampai keakar-akarnya bertolak belakang persepsi mereka dengan kaum feminis liberal. Kaum feminis radikal melihat penyebab utama adanya ketidakadilan bagi perempuan di dalam dunia pendidikan adalah karena sistem patriarkhal yang berlaku di masyarakat setempat. Selain itu, juga melihat hubungan-hubunga kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, karena nya ini yang kemudian menentukan keterbelakangan perempuan perempuan di berbagai bidang.
- Teori Feminisme Marxis
dan Sosialis
Bagi teori ini, ketidaksetaraan dalam pendidikan terjadi karena institusi-institusi pendidikan justru menciptakan kelas-kelas ekonomi. Pendidikan telah dijadikan bisnis yang lebih melayani kelas ekonomi atas. Pendidikan telah kehilangan makna bukan untuk mencerdaskan bangsa melainkan untuk menguntungkan pendapatan pribadi. Hubungan kekuasaan antara ekonomi kuat dan ekonomi lemah terlihat gamblang sehingga kelompok miskin tereksploitasi dan berada dalam kebodohan terus menerus. Bahasa-bahasa yang sering digunakan dalam teori ini adalah yang berkaitan dengan kelas, produksi, kemiskinan dan seterusnya. - Teori
Poststrukturalis dan Postmodernisme
Teori ini mengkritik definisi pendidikan yang lebih berpusat pada laki-laki (male-centered) tidak dipertanyakan lagi atau sudah dianggap wajar dan semestinya. Teori ini juga membongkar semua anggapan-anggapan yang diterima begitu saja. Konsentrasi yang dilakukan teori ini adalah melihat semua diskursus-diskursus yang ada (teks-teks) yang ada dalam dunia pendidikan yang melakukan operasi bawah sadar sehingga terjadi penaturalan bahasa-bahasa yang bias gender. Oleh sebab itu, teori ini bukan saja mengajak mereka yang berkepentingan dengan pendidikan untuk merubah kurikulum tetapi melihat bagaimana kurikulum bias gender terbentuk dan beroperasi secara luas.
Perjuangan untuk menyuarakan kesetraan gender itu tidak akan betul-betul bisa terwujud apabila kesetaraan gender dalam pendidikan belum bisa direalisasikan. Artinya perjuangan kesetaraan gender harus dimulai dengan kesetaraan antara kaum perempuan dan kaum lelaki, dalam pendidikan sehingga mempunyai peluang yang sama untuk mengakses lapangan pekerjaan dan berperan dalam berbagai kehidupan.
Isu kesetaraan gender memang
telah didengung-dengungkan oleh berbagai pihak, bahkan kebanyakan mahasiswa
sangat getol untuk menyuarakan isu tersebut, akan tetapi jika isu tersebut
hanya digembar-gemborkan kesana-kemari tanpa adanya keseriusan dari pihak
terkait, hal ini hanya akan menjadi percuma dan sia-sia belaka. Untuk
meminimalisir atau bahkan menghilangkan bias gender agar tecapai kesetaraan dan
keadilan gender perlu sebuah upaya serius dari berbagai pihak. Yang pertama
dari keluarga dan yang kedua dari pihak sekolah.dan Perlu strategi lagi, selain
dari dua upaya diatas guna mempercepat perwujudan kesetaraan dan keadilan
gender tersebut, yang dikenal sebagai istilah Gender Mainstreaming .
“Gender
mainstreaming is a strategy for integrating gender concern is the analysis
formulation and monitoring policies, programs and projects”Gender
Mainstreaming adalah suatu strategi kesetaraan dan keadilan gender dengan
memperbaiki kondisi dan posisi perempuan agar bisa setara dengan laki-laki dalam
kehidupan bermasyarakat dan pembangunan. (Konferensi Wanita Sedunia Beijing,
1995)
Istilah Gender Mainstreaming di Indonesia kemudian disepakati oleh berbagai pihak dalam pertemuan-pertemuan yang dikoordinasikan oleh Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan menjadi “Pengarusutamaan Gender (PUG)” yang berarti akak selalu memasukkan atau memikirkan isu gender sebagai salah satu inti kegiatan utama dan bukan menomor-duakan, dilakukan sambil lalu, dipinggirkan, dianak tirikan atau diabaikan.
Istilah Gender Mainstreaming di Indonesia kemudian disepakati oleh berbagai pihak dalam pertemuan-pertemuan yang dikoordinasikan oleh Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan menjadi “Pengarusutamaan Gender (PUG)” yang berarti akak selalu memasukkan atau memikirkan isu gender sebagai salah satu inti kegiatan utama dan bukan menomor-duakan, dilakukan sambil lalu, dipinggirkan, dianak tirikan atau diabaikan.
Pada hakekatnya pengarusutamaan gender adalah
suatu strategi yang dilakukan untuk menciptakan kondisi kesetaraan dan keadilan
gender (KKG) yaitu upaya untuk menegakkan hak-hak perempuan dan laki-laki atas
kesepakatan yang sama, pengakuan yang sama, dan penghargaan yang sama oleh
masyarakat, seperti yang tertuang dalam Intruksi-Intruksi Presiden Nomor : 9
tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan Nasional.
Dengan
PUG ini, pemerintah diharapkan dapat bekerja lebih efisien dan efektif dalam
membuat kebijakan-kebijakan public yang adil dan responsive terhadap isu
gender. Kebijakan dan pelayanan public yang dilakukan melalui upaya promosi
yang gencar dan tepat sasaran ( pemerintah, organisasi-organisasi, unit paling
kecil yakni keluarga, dll) agar dapat mengarah kepada pencapaian kesetaraan dan
keadilan gender, serta program dan perundang-undangan yang adil dan responsive
gender.
Ada beberapa batasan dalam pengarusutamaan gender, antara lain :
Ada beberapa batasan dalam pengarusutamaan gender, antara lain :
- Memasukkan permasalahan gender dalam program dan agenda pembangunan
- Strategi dan proses untuk mengintegrasikan masukan yang responsive gender dalam kebijakan, petunjuk-petunjuk program / proyek, kegiatan serta pelayanan di tiap-tiap tingkatan
- Satu usaha untuk memasukkan kerangka gender ke dalam rencana kegiatan dan pelaksanaan program sektoral
- Pengakuan adanya suatu upaya arusutama gender di mana gagasan, keputusan dan penyebaran sumber dilakukan untuk pencapaian tujuan pembangunan
Bukan hanya memadukan isu gender ke dalam arus utama, tetapi
mengubah arus utama agar lebih tanggap dan kondusif terhadap tujuan dan
kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan.
2.4 Pandangan Islam Terhadap Kesetaraan Gender
dalam Pendidikan
Islam
sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, tidak ada pembedaan
antara laki-laki dan perempuan. Yang membedakan adalah ketakwaannya dihadapan
Allah SWT. Islam juga mewajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan, sebagaimana
hadist nabi yang artinya;
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim dan
(muslimah)”. Hal ini terbukti bahwa islam tidak membedakan dalam hal memperoleh
ilmu pengetahuan, yaitu ketika zaman Rasulullah banyak wanita yang menonjol
pengetahuannya yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh yaitu Aisyah istri Nabi
saw.
Namun, memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada perbedaan kodrat antara laki-laki dan perempuan, yaitu :
Namun, memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada perbedaan kodrat antara laki-laki dan perempuan, yaitu :
- Perbedaan jasmaniah (biologis)
- Perbedaan kejiwaan (psikologis)
- Perbedaan menjalankan agama
Hingga akhir periode ini, antara kaum perempuan denga laki-laki
keduannya berperan sebagai subjek pendidikan. Masing-masing sebagai pendidik
dan peserta didik, kesempatan belajar yang sama karena tanggungjawab yang sama.
Hal tersebut terjadi karena Nabi tidak memecah-mecah persoalan ke-ummatan
kepada perkara keagamaan dan keduniaan, perkara sosial dan individual, perkara
perempuan dan kelelakian. Pembedaan tentu ada tetapi dalam batas-batas
kewajaran tanpa menghilangkan aspek kebebasan asasi yang padanya melekat
tanggungkjawab asasi individu maupun sosial. Kedua jenis kelamin muslim ini
memiliki kesempatan yang sama termasuk dalam dalam hal seluruh otoritas
keagamaan kecuali dalam peran kenabian dan kekhalifahan itu saja
Sumber :
ü
Darmaningtias,
1999.PENDIDIKAN PADA DAN SETELAH KRISIS.Yogyakarta:pustaka belajar offset
ü
http://www.haifa.co.cc/2010/09/gender-dan-pendidikan-islam-perempuan-islam-sejarah-sosial-pendidikan
Soekanto, Soerjono.1991.Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta:PT.Grafindo
Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar